Waliyullah |
Memang, dalam hati kami tidak memungkiri kalau sebagian masyarakat Islam sangat antipati terhadap amalan ziarah wali ini. Tapi kami juga sadar bahwa tanpa meneliti terlebih dahulu, sebuah prasangka negatif yang membabi buta mungkin justru akan membawa seseorang pada perilaku dzalim.
Baik dzalim terhadap orang lain, maupun dzalim terhadap diri sendiri.
Ziarah yang dilakukan oleh orang-orang beriman bukanlah sebuah perilaku syirik seperti yang sering diungkapkan sebagian saudara kita sendiri. Ziarah adalah amalan silaturahmi terhadap kebenaran sebuah kematian.
Yang juga bisa kita maknai sebagai ungkapan rasa syukur dan terima
kasih kepada para waliyullah atas warisan Iman dan Islam yang sampai
saat ini masih kita miliki.
Dengan berlindung kepada Allah dari godaan syetan dan mengawali langkah dengan kata bismillah, kami membaca ayat-ayatNya, mengumandangkan kalimat-kalimat thoyyibah, mengumandangkan shalawat nabi, mendo`akan
arwah para syuhada, arwah orang-orang beriman, memohonkan ampun arwah
kedua orang tua dan kerabat kami dan memohonkan hajat kami hanya kepada
Allah swt, bukan kepada benda-benda atau sesuatu yang ada di depan mata
kita. Dengan berusaha memenuhi semua permintaan Allah dan tetap pada
keyakinan tauhidnya Allah swt, kami berharap mudah-mudahan syafaat Allah
dan syafaat Rasulullah saw akan hinggap di kehidupan kami. Baik di
dunia maupun kelak di akhirat nanti.
Perjalanan berbalut dzikir.
Lepas jam kerja, rombongan kecil kami yang
terdiri dari empat belas orang meluncur dari halaman perusahaan pt.
Sepanjang Baut Sejahtera dengan menggunakan dua mobil. Belum berlalu
setengah jam perjalanan, rintik hujan turut pula menyertai perjalanan
kami. Seakan memberi isyarat bahwa malam akan berlalu dengan guyuran air
hujan. Menambah dinginnya udara dalam mobil yang sebenarnya sudah
begitu dingin. Namun udara dingin bukanlah halangan keceriaan kami.
Mobil terus melaju di bawah gelapnya langit dan pandangan yang terhalang
tetesan air hujan yang semakin deras. Meluncur agak kencang dan
berkelok diantara makhluk sejenis mobil kami yang mempunyai body jauh
lebih besar, yakni truck gandeng dan treller.
Satu setengah jam berlalu. Kami menghentikan
perjalanan sejenak untuk memenuhi panggilan shalat maghrib di Masjid
Jami` Lamongan. Untuk effisiensi dan demi keringanan pelaksanaan syariat kami menjama` taqdim sekaligus qoshor shalat
maghrib dengan Isya` dalam satu waktu. Usai shalat kami bersama-sama
merekatkan kebersamaan dalam suasana makan nasi bungkus, telur asin plus
sambal terong. Terasa nikmat dan begitu berkesan. Inilah
keindahan orang-orang yang bersaudara dalam Iman. Selesai makan,
sebagian dari kami yang tergolong ahli hisab melampiaskan hasrat ngudud-nya. Satu
jam tanpa tembakau dalam mobil rasanya mungkin seperti dalam penjara
selama seharian. Maka begitu tuntas masing-masing satu batang, kami
segera meneruskan perjalanan di atas rajutan aspal yang masih panjang.
Lima jam perjalanan yang mestinya bisa kami gunakan untuk mencuci mata, yakni
dengan melayangkan pandangan ke indahnya tepi pantai utara. Tapi hal
itu tak bisa kami lakukan karena sinar rembulan tertutup awan dan hujan.
Yah, apa mau dikata, perjalanan ke makam Sunan kalijaga di desa
Kadilangu Demak terpaksa kami tempuh dengan ekstra hati-hati karena
hujan yang tak kunjung reda sampai lewat tengah malam. Pukul 01.30 pagi
rombongan kami tiba di lokasi makam. Kembali kerinduan akan asap dan
hitamnya kopi tak tertahankan lagi. Setelah istirahat beberapa saat,
kami semua menuju padasan untuk mensucikan hati dari segala
sesuatu yang bersifat duniawi. Sejenak kami berucap salam pada arwah
sunan Kalijaga dan pada seluruh penghuni kubur di lokasi makam sunan.
Kira-kira tiga puluh menit kami larut dalam quri`al Qur`an surat
ke tigapuluh enam dan lantunan kalimat-kalimat thaiyibah. Kemudian
bertawasul kepada Rasulullah saw dan para syuhada serta bertawasul pula
pada sunan Kalijaga. Lantas mengalirlah permintaan-permintaan kami pada
Allah swt untuk memohon ampun atas dosa-dosa orang-orang beriman,
dosa-dosa kedua orang tua kami, kakek-kakek kami dan seluruh ahli kubur
di keluarga kami. Tak lupa kami juga memohon kebaikan untuk istri, anak
dan mohon pula agar dijauhkan dari amalan-amalan yang buruk dalam
menjalani kehidupan ini. Kami memohon pula dijauhkan dari segala bala`
bencana, memohon agar negara yang kita cintai ini bisa menjadi negara
yang baldatun thaiyibatun war rabbun ghafur.
Setelah kami rasa cukup dalam meminta sesuatu
kepada Allah, kamipun merenung sejenak sambil memperhatikan lekuk
ornamen bangunan yang sudah berusia selama ratusan tahun di depan mata
kami. Beberapa saat kemudian kamipun sudah berada di lorong jalan yang
menawarkan berbagai cindera mata khas daerah dan berbagai aksesoris
untuk ritual ibadah. Pemandangan seperti ini memang hampir selalu
terlihat di berbagai komplek pemakaman para waliyullah. Harus jeli dalam
melihat kualitas dan piawai dalam menawar jika ingin mendapatkan harga
yang sesuai dengan kualitas barang. Sebab tidak sedikit pedagang yang sengaja memanfaatkan keikhlasan jama`ah ziarah meski harus mengeluarkan uang untuk membayar sesuatu yang tidak sesuai dengan kualitas.
Lima belas menit kemudian kami sudah berada di
dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan menuju masjid agung Demak dan
berziarah ke makam Sunan Demak. Tak berapa lama rombongan kami sudah
berada di komplek masjid yang sangat terkenal di tanah jawa ini.
Pemandangan pertama yang kami temui adalah banyaknya jama`ah ziarah yang
bergelimpangan tidur di beranda masjid. Mungkin mereka kelelahan
setelah menempuh jauhnya perjalanan dari berbagai tempat asal yang
jaraknya bisa ratusan kilometer. Sambil melangkah kami mencoba untuk
memperhatikan sokoguru yang tergolek di musium kecil masjid
Demak. Beberapa batang kayu yang sudah kelihatan rapuh tersebut seakan
menjadi saksi bisu berdirinya Masjid di akhir pemerintahan kerajaan
Hindu Majapahit yang pernah sangat berjaya.
Batangan kayu bulat besar yang sudah berusia ratusan tahun tersebut memang sengaja diistirahatkan
dari tugasnya menyangga atap Masjid Demak. Bukan karena apa, hanya
karena kondisi yang sudah termakan usia saja hingga beberapa sokoguru
tersebut harus disimpan dan dilestarikan sebagai saksi bisu sejarah
berdirinya Masjid yang diyakini pernah digunakan sebagai tempat
berkumpulnya para wali seluruh tanah jawa tersebut. Ada perasaan heran
bercampur takjub atau mungkin sebaliknya ketika memperhatikan
benda-benda tersebut dengan seksama. Batangan kayu yang kelihatan tak
berguna tersebut ternyata menyimpan sejuta peristiwa tentang sejarah
perkembangan Islam di tanah Jawa. Jika saja tak ada bukti batangan kayu
tersebut, mungkin wacana sejarah yang ada bisa dianggap hanya isapan
jempol belaka.
Setelah puas melihat-lihat sokoguru yang
identik dengan Sunan Kalijaga tersebut kamipun bergegas menuju makam di
bagian belakang bangunan. Kemudian beberapa saat kami tenggelam dalam
dzikir sambil melantunkan tahlil bersama-sama untuk meyakinkan hati
bahwa kematian adalah sesuatu yang haq. Kubur dan nisan adalah bukti
bahwa cepat atau lambat kematian pasti akan menghampiri kita. Hanya
kualitas jiwa dan besarnya perjuangan di jalan Allah saja yang
membedakan antara kematian biasa dan kematian luar biasa
orang-orang yang disayangi oleh Allah swt. Kematian biasa hanya
menyisakan gundukan tanah dan nisan. Sedangkan kematian para waliyullah
mewariskan kehidupan untuk warga sekitar makan dan bahkan orang-orang
yang jauh dari lokasi makam.
Lantas bagaimana dengan kematian kita kelak ?
Bisakah kematian kita yang menganggap diri paling benar ini mampu
menghidupi ribuan orang-orang disekitar kehidupan kita ? Tak ada jawaban
pasti mengenai pertanyaan tersebut. Tapi yang hampir pasti, kita hanya
akan meninggalkan nama di batu nisan yang terselip di dangkalnya liang
kubur kita. Betapa hebatnya orang-orang yang disayangi oleh Allah swt.
Disaat hidup dibutuhkan banyak orang, disaat matipun jadi sandaran hidup
ribuan orang-orang yang menggantungkan mata pencaharian di sekitar
makam. Benar-benar manusia yang membawa berkah dari Allah untuk di
serahkan ke umat. Tapi kebanyakan kita mengingkari tentang hal-hal
seperti ini.
Setelah menunggu beberapa teman yang ingin mencicipi fenomena shalat di masjid para Wali ini, kamipun meneruskan perjalanan menuju kota Kudus untuk silaturahmi dengan
syech Ja`far Shadiq atau Kanjeng Sunan Kudus di Jalan Menara Kota
Kudus. Meski harus bertanya kesana-sini akhirnya sampai juga kami ke
makam Sunan Kudus. Agak aneh, meski sudah berkali-kali datang untuk
berziarah di tempat yang sama kamipun masih saja kesasar jalan. Hal itu
tak lain karena perjalanan ziarah yang biasa kami tempuh tidak seberat
sekarang ini. Kami terbiasa melakukan perjalanan jauh hanya dengan memejamkan mata. Dan ketika membuka mata tiba-tiba sudah berada di lokasi makam tujuan. Heran ?
Jangan heran, karena kami terbiasa menggunakan
bus besar dan tidur selama perjalanan untuk kemudian bangun ketika bus
sudah sampai di tujuan. Berbeda dengan perjalanan kali ini yang wajib melek
untuk memotivasi pilot pesawat agar tetap semangat menginjak pedal gas
untuk memenuhi target waktu minimal perjalanan. Persis waktu subuh
rombongan kami menginjakkan kaki di komplek Masjid yang bersebelahan
dengan bangunan menara ber-arsitektur Hindu tersebut. Kemudian satu demi
satu masing-masing diri mengambil air wudlu untuk menunaikan shalat
fajar bersama-sama dengan ratusan jama`ah yang memang sengaja menunggu
shalat berjama`ah dengan Imam Masjid Agung tersebut.
Langkah menuju lokasi makam yang berada di
belakang masjidpun sedikit terkendala. Karena ada salah satu teman kami
yang kehilangan foots forest alias alas kaki alias sandal.
Alhasil, kamipun harus meneruskan langkah bersama salah satu teman kami
yang berjalan dengan kaki telanjang. Untuk beberapa saat
lamanya kami tenggelam lagi dalam dzikrullah. Lantunan ayat yang
bersahut-sahutan diantara banyaknya jama`ah dari berbagai tempat tak
melunturkan niat kami untuk tetap memenuhi tujuan ziarah. Justru
banyaknya jama`ah semakin menambah motivasi untuk segera menyelesaikan
pembacaan tahlil dan do`a. Karena jama`ah di belakang kami juga
membutuhkan tempat untuk berada lebih dekat dengan lokasi makam Sunan
Kudus.
Setelah menyelesaikan rangkaian do`a dilokasi
makam, kamipun beranjak keluar lokasi dan menyempakan diri untuk berpose
layaknya orang-orang yang berwisata. Puas tersenyum di depan kamera,
rombongan bergerak menuju mobil untuk melanjutkan perjalanan ke Gunung
Muria guna bersilahturahmi dengan syech maulana raden Umar Said yang
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Muria. Perjalanan lagi-lagi terhambat
dengan kebutaan mata saya dalam melihat papan petunjuk lokasi. Kebablasan
beberapa kilometer ke arah kota Pati menyebabkan perjalanan harus
tersesat di jalan desa yang sempit sepanjang kurang lebih 15 kilometer.
Dengan jurus tanya sana sini akhirnya sampai juga kami di lokasi makam Sunan Muria yang berada di ketinggian 800 meter diatas permukaan laut.
Setelah bersepakat untuk mengisi perut lebih dulu, maka kamipun harus bersabar menunggu nasi pecel plus telur mata sapi
yang disajikan dengan speed rendah. Ujian kesabaran memang kadang bisa
berada di perut. Yang tidak terbiasa dengan perut kosong pasti akan
sedikit tersiksa dengan kondisi lapar. Apalagi kami sudah bersepakat
untuk naik tangga sejauh satu setengah kilometer ke arah makam secara manual
alias jalan kaki. Sengaja saya sarankan agar berjalan kaki untuk
merasakan kesan yang dalam dari ziarah dimakam Sunan yang berada di
tingginya Gunung Muria tersebut. Alhasil, semua anggota rombongan bisa
lolos dari dua ujian sekaligus. Yang pertama ujian menahan lapar dan
yang kedua ujian fisik yang lumayan berat.
Meski sebagian besar anggota rombongan sampai diatas dengan gobyos keringat,
namun raut kegembiraan dimasing-masing wajah kami tak bisa lagi
disembunyikan. Tapi sayang, kegembiraan kami tak bisa berlangsung lama.
Sebab ketika kami memutuskan untuk segera memasuki lokasi makam, yang
kami dapatkan adalah antrean panjang dan padat para jama`ah yang
sama-sama ingin memasuki lokasi makam. Jadilah ujian kesabaran yang
ketiga kalinya kami hadapi. Meski berdiri cukup lama, akhirnya kami bisa
juga merangsek masuk keloksi makam. Namun ternyata ujian belum
berakhir. Lokasi yang penuh sesak jama`ah membuat kami tak lagi bisa
bergerak. Bahkan hanya untuk mengerakkan telapak kaki saja kami sulit.
Akhirnya kami memutuskan untuk berdo`a sendiri-sendiri di penuh sesaknya
jama`ah.
Dengan bergerak perlahan akhirnya kami bisa
membebaskan diri dari sesaknya jama`ah dan menghirup sejuknya udara
pegunungan. Seteguk air yang kami dapat dari rekan membuat hidup bisa lebih hidup. Segarnya
air minum dari sumber diatas gunung muria membuat tubuh kami terasa
lebih bersemangat. Kemudian tibalah waktunya untuk memutuskan turun
gunung secara manual pula. Menuruni tangga yang awalnya kami yakini akan
terasa ringan ternyata masih juga memberikan beban yang diluar dugaan.
Beban berat masing-masing tubuh kami ternyata masih sedikit menyiksa
lutut. Rasanya seperti akan terlepas dari sambungannya. Meski agak berat
akhirnya sampai juga kami di tempat parkir mobil. Sambil beristirahat,
sebagian dari kami menyempatkan diri untuk mandi dan menyaksikan lalu
lalangnya para jama`ah yang seakan tak ada hentinya berdatangan dari
berbagai pelosok daerah di tanah Jawa ini.
Sesekali salah satu diantara kami melihat jam di
pergelangan atau di layar ponsel. Ternyata pukul 11.00 wib. Dan kami
masih berada di posisi yang jauh dari tujuan selanjutnya. Kota Tuban.
Dan memang benar. Lewat waktu ashar kami baru tiba di lokasi komplek
pemakaman Syech Maulana Makdum Ibrahim yang lebih dikenal dengan sebutan
Sunan Bonang. Setelah membaca tahlil bersama-sama kamipun segera keluar
lokasi makam untuk meneruskan perjalanan ke Desa Drajat. Sebelum
memutuskan berangkat masing-masing dari kami menyempatkan diri untuk
minum dan mengganjal perut bagian dalam dengan tahu atau
ote-ote. Setelah tubuh bisa berdiri tegak kembali kamipun berangkat
untuk mencari makanan yang sesungguhnya.
Beberapa kilometer sebelum makam Ibrahim
Asmoroqondi yang merupakan ayah dari Sunan Ampel kami menemukan tempat
makan yang saat itu sepi pembeli. Depot Wali Songo. Pas dengan tema
perjalanan. Maka kamipun berhenti untuk menunggu pesanan makan dan manjing
maghrib. Setelah melaksanakan shalat maghrib sekaligus Isya` di satu
waktu, kamipun bersama-sama makan sesuai pesanan masing-masing. Puas
menyantap makanan dan minuman plus asap jin, perjalanan
dilanjutkan menuju makam Sunan Drajat. Setengah jam kemudian kami tiba
di lokasi dan segera masuk mendekati makam lalu membaca tahlil yang
menurut penilaian kami merupakan pembacaan tahlil yang paling kompak
diantara semua bacaan tahlil sebelumnya. Alhamdulillah. Kami telah
menyelesaikan enam lokasi dari sekian banyak lokasi makam wali yang
berada di pesisir pantai pulau jawa.
Dari perjalanan yang cukup panjang tersebut kami
ada sedikit catatan. Bahwa diantara sekian ribu jama`ah yang terus
mengalir dari berbagai penjuru daerah jawa, semua membawa kedamaian.
Meski berada disatu tempat yang saling berdesakan, tak ada satupun
diantara kami yang mengeluh. Kaki yang saling terinjak justru bisa
mempertemukan dua hati yang sebenarnya bersaudara. Hampir semua memilih
untuk bersabar dalam kondisi yang penuh sesak. Tak ada lirikan sinis,
apalagi kata umpatan. Yang ada hanyalah perasaan seiman dalam Islam.
Saling lempar senyum dalam sesaknya ruangan dan saling memberikan jalan
bagi mereka yang merasa ketinggalan rombongan.
Inilah Islam yang damai. Yang tidak
terkontaminasi nafsu duniawi. Inilah orang-orang yang yakin, bahwa
kematian adalah sesuatu yang segera akan menghampiri kita. Inilah
orang-orang yang sadar, bahwa kekayaan dunia bukanlah segala-galanya.
Makam atau kubur adalah tempat tinggal kita selanjutnya. Maka ingatan
akan kematian tak seharusnya terpisahkan dari kehidupan. Dengan
bersandar pada kekuatan Allah swt, marilah kita isi Iman atau keyakinan
kita dengan Ilmu-ilmu agama. Baik ilmu Islam yang berkaitan dengan
pelaksasnaan syariat maupun ilmu Iman untuk memantapkan hati dalam
bertauhid hanya kepada Allah swt. Amiin.
Sekian